Rasa Takut Adalah Kekuatan Untuk Membuat Uang – 2

Tak terbayangkan banyak keinginan dan tulisan serta kata-kata rakyat Indonesia yang yang di ungkapakan di tahun 2019 di setujui oleh Tuhan Yang Maha Esa – Allah SWT di tahun 2020, sangat cepat mengapa demikian sebab saking banyak yang berharap dan menuliskan keinginannya di sosial media hingga viral, diantaranya ingin kerja di rumah di wujudkan dengan work from home (WFH), ingin liburan panjang dan berharap lebih banyak tanggal merah dan banyak yang tak ingat tanggal 1 Mei 2020 adalah tanggal merah alias Hari Buruh Nasional 2020 dan banyak cerita lucu alias jokes menjadi kenyataan di tahun 2020.

Namun ada satu hal yang tak di sangka di mana kita seluruh manusia di dunia belajar mencuci tangan selama 60 detik, sementara asumsi masyarakat dunia membayangkan tahun 2020 adalah tahun gemilang dan futuristik namun kita ternyata harus belajar sejarah dan lainnya.

Banyak kosa kata baru, diantaranya hand sanitizer, alat pelindung diri (APD), corona hingga COVID-19 bak kata sandi dinas rahasia ala James Bond 007, dan ketakutan merebak di mana-mana, khawatir tertular, khawatir sakit dan meninggal dunia, khawatir tidak bisa makan dan punya pekerjaan serta rasa ketakutan lainnya.

Hal ini membuat saya teringat masa resesi moneter pada Agustus 1997, mata uang rupiah mulai bergerak di luar pakem normal. Rupiah tidak saja bergeliat negatif, tapi lebih dari itu. Rupiah bergerak sempoyongan. Kemudian September 1997, Bursa Efek Jakarta (saat ini Bursa Efek Indonesia) bersujud di titik terendahnya. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk membayar utang.

Padahal beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Juni 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar masih sangat adem, hanya Rp 2.380 per dolar. Mendadak pada Januari 1998, dolar menguat menyentuh level Rp 11.000. Kemudian pada Juli 1998, rupiah terus merosot , US$1 setara dengan Rp 14.150. Pada 31 Desember 1998, rupiah menguat perlahan, tapi hanya mampu meningkat hingga Rp 8.000 untuk US$1.

Pada Juni 1997, banyak yang berpendapat bahwa Indonesia masih jauh dari krisis. Karena beberapa pandangan ketika itu menyatakan bahwa Indonesia berbeda dengan Thailand. Indonesia memiliki inflasi yang rendah, surplus neraca perdagangan lebih dari US$900 juta, cadangan devisa cukup besar, lebih dari US$20 miliar, dan sektor perbankan masih baik-baik saja. Walaupun sebenarnya di tahun-tahun sebelumnya, cukup banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dalam bentuk dolar. Karena sebelum 1997 memang tercatat bahwa rupiah menguat atas dolar Amerika. Jadi, pinjaman dalam bentuk dolar dianggap jauh lebih murah.

Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah rontoknya kepercayaan pasar dan masyarakat, ditambah kondisi kesehatan Presiden Soeharto saat memasuki tahun 1998 yang kian memburuk sehingga melahirnya ketidakpastian terkait suksesi kepemimpinan nasional. Yang tak kalah penting adalah sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Kondisi tersebut berkelindan dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Tercatat, dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 miliar dolar AS, sekitar 72,5 miliar dolar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 miliar dolar AS akan jatuh tempo pada 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 miliar dolar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dolar AS pada 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dolar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Risikonya, rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dolar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998. RAPBN dinilai tak realistis. Krisis yang menandakan kerapuhan fundamental ekonomi tersebut dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional mendadak terlilit kesulitan besar. Peringkat internasional bank-bank besar tersebut memburuk, tak terkecuali surat utang pemerintah, peringkatnya ikut lengser ke level di bawah “junk” atau menjadi sampah.

Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal mendadak berstatus insolvent alias bangkrut. Sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan adalah sektor yang terpukul cukup parah. Sehingga risiko lanjutannya adalah lahirnya gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat PHK dan melesatnya harga-harga barang, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat. Ketika itu, angkanya tercatat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dolar/kapita pada 1996 dan 1.088 dolar/kapita pada 1997 menciut menjadi 610 dollar/kapita pada 1998. Dua dari tiga penduduk Indonesia, sebagaimana dicatat oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), berada dalam kondisi yang sangat miskin pada 1999 jika ekonomi tak segera diperbaiki.

Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 berubah menjadi nol persen kuartal terakhir 1997. Angkanya terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I/1998, kontraksi 16,5 persen kuartal II/1998, dan terus terkontraksi 17,9 persen kuartal III/1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah mencapai 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya alias tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah. Karena dunia bisnis sudah tercekik akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global. Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

Kini, tak terasa sudah 22 tahun masa itu berlalu. Telah berlangsung beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional. Secara umum, semuanya berjalan baik. Pelan-pelan kondisi ekonomi juga mulai tenang. Setiap pemerintahan baru yang terbentuk juga mendapati tantangan dan peluangnya masing-masing. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dari kepemimpinan baru Jokowi-Amin pun sama, yakni terobosan yang berani yang tidak hanya berhenti di zona gembar-gembor infrastruktur.

Namun saat krisis moneter 1998 saya mendapat ilmu yang tak ada di bangku kuliah dan seminar bisnis manapun, di mana saat itu saya bergabung di sebuah komunitas sales penjualan property dibawah Grup Lippo Land, dalam satu kesempatan pertemuan internal hadir James Riyadi yang merupakan putra mahkota Grupp Lippo memberikan pesan kepada yang hadir di ruangan termasuk saya untuk berfikir dan bertindak secara “out of the box” dan James Riyadi bercerita bagaimana awal beliau bisa membangun bisnis property di Cikarang dan Karawaci adalah dari mimpi, perumahan yang hanya memiliki satu pintu masuk dan keluar sehingga keamanan terjamin, tidak ada kabel listrik telepon melintang di atas rumah, air pembuangan dari rumah di olah guna bahan penyiraman tanaman di sekitar perumahan, akses ke jalan tol ketika keluar dari rumah, ketika rumah ada kerusakan seperti genteng bocor maka ada petugas yang akan langsung menanganinya serta jalan perumahan akan di pel, keren kan? Mengapa James memilih property dikarenakan jika lokasi bebas banjir dan sarana prasarana lengkap maka tidak ada harga rumah yang turun dan yang ada malah naik berlipat-lipat serta ada hal lain yaitu “orang tidak berani memegang tunai atau menyimpan di bank efek banyak bank yang kolaps saat itu dan James mengimplentasikan salah satu filsafat China yang berbunyi “wee chi” yang terjemahan bebasnya adalah ketika ada masalah maka jangan lihat masalahnya tapi lihat ada peluang apa di balik masalah itu, dan ketika orang punya uang tunai banyak dan takut serta tidak tahu mau di kemanakan maka pilihan yang aman dan futuristik adalah berinvestasi di properti.

Bagaimana dengan pendemi 2020, ketika ketakutan membuat banyak orang dan perusahaan bisa tetap mencetak pendapatan dan menghasilkan keuntungan, diantaranya kisah sebuah pabrik minuman keras 58 Gin di Inggris Pada awal Maret, pemilik merek minuman keras 58 Gin yang berbasis di London mengadakan pertemuan darurat untuk mendiskusikan masa depan perusahaan mereka. Dengan karantina wilayah mendadak yang ditetapkan oleh pemerintah Inggris dan menyebabkan setiap bar di Inggris tutup, pasar utama produk gin mereka menghilang dalam sekejap.


“Kami tiba-tiba memiliki bisnis tanpa pelanggan atau pendapatan — dan jika kami tidak berbuat sesuatu, dan melakukannya dengan sangat, sangat cepat, kami tidak akan punya bisnis lagi, kata manajer penyulingan Carmen O’Neal.
“Bagaimana kita mempertahankan perusahaan? Bagaimana kita menyelamatkan pekerjaan karyawan?”
Maka tim membuat keputusan yang cepat dan sedikit aneh: mereka akan berhenti menyuling gin dalam jumlah kecil dan mulai memproduksi cairan pembersih tangan dalam jumlah besar – mereka menamakannnya ‘Hand Gin-itizer’ – untuk membantu melawan wabah Covid-19.

“Kami berhenti memproduksi gin hanya dalam beberapa jam setelah pengumuman lockdown dari Perdana Menteri, dan kami segera mencari tahu detail-detail formula cairan penyanitasi tangan dari panduan Badan Kesehatan Dunia (WHO),” kata O’Neal.

Setelah ancaman kebangkrutan mendadak bisa dihindari, proses pembuatan pembersih tangan terbukti lebih mudah. “Prosesnya mirip dengan pembuatan gin dalam hal memurnikan cairan, kemudian mendidihkannya di tembaga 450 liter. Namun alih-alih menambahkan rempah untuk membuat gin, kami menambahkan campuran alkohol, gliserol, hidrogen peroksida, dan minyak esensial,” jelas O’Neal

 

Singkat cerita apa pun posisi kita baik sebagai seorang pekerja/karyawan atau profesional dan pengusaha harus bisa mengambil keputusan cepat – tepat dan dapat membaca situasi peluang apa yang ada di setiap masalah dan kita harus bisa menjadi solving problem dan bukan biang masalah.

Just Say Hi

I’m always to discuss about your project
and talk about your problem

Mail me at
nyomanheru@gmail.com

Follow me on

Copyright ©2024 | Nyoman Heru.